Senin, 21 Maret 2016

SEJARAH MASUKNYA AL-QURAN DI INDONESIA



SEJARAH MASUKNYA AL-QURAN DI INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“ULUMUL QUR’AN”
Dosen Pengampu :
H. Muhammad Aji Nugroho, Lc., M.Pd.I



Disusun Oleh :
Tri Hariyanto (143111165)

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SURAKARTA 2014/2015
BAB I
LATAR BELAKANG
Suatu kenyataan bahwa Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Fakta ini sebenarnya sangat terkait dengan kegigihan dan kelincahan para  penyebar Islam baik dari Gujarat, Persia, Maupun Arab. Sehingga bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Nusantara tersebut, kitab suci al-Qur’an diperkenalkan para juru dakwah itu kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap al-Qur’an itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting karena al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang telah memeluk Islam. Oleh karena itu, perkenalan orang-orang Nusantara dengan al-Qur’an terjadi berbarengan dengan dipeluknya agama Islam oleh penduduk Nusantara, meskipun awal perkenalan itu bukan secara akademik ilmiah. Hal ini sangat unik untuk dikaji maka makalah ini akan membahas tentang proses sejarah masuknya al- Qur’an di Indonesia bersama dengan awal masuknya Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.      Sejarah Masuknya Al-Qur’an di Indonesia
Pada mulanya yang memasukkan agama Islam di Indonesia itu orang dagang dari Gujarat (India sebelah Barat-Laut). Dengan jalan perdagangan dan pergaulan dengan orang Islam itu, lambat laun Indonesia juga mulai masuk agama islam. Begitu seterusnya propaganda Islam pada umumnya berjalan sepanjang jalan perdagangan. Dari Sumatera Utara agama Islam masuk di malaka. Malaka menjadi begitu besar dan menjadi pusat agana Islam di tanah Selatan. Dari Malaka agana Islam masuk ke kota-kota dagang di tanah Jawa, mulanya di Jawa Timur. Kemudian tersiar ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dari Jawa Barat ke Lampung, terus Ke Bengkulu dan Minangkabau. Dari Jawa Timur agama Islam di siarkan ke arah timur sampai Maluku. Dari Muluku mausk di tanah Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan di Kutai (Kalimantan Timur).
Dari daerah-daerah yang telah masuk Islam itu lambat-laun agama Islam terus tersiar di sekelilingnya, sehinnga lama-kelamaan hampir seluruh Indonesia beragama Islam.[1] Begitulah dengan amat ringkas garis masuk agama Islam atau pelajaran al-Qur’an di Indonesia yang digambarkan oleh Dr. Priyono dalam catatan sejarahnya.[2]
Di Jawa, penyabaran islam dilakukan oleh Wali Sanga, juga tak terpisah dari upaya pengajaran al-Qur’an. Pengajaran al-Qur’an semakin nyata pada abad-abad selanjutnya.[3] Zamakhsyari menjelaskan bahwa pada tahun 1847, sistem pendidikan di Indonesia belum memiliki sebutan tertentu, pengajaran al- Qur’an pada waktu itu berlangsung di tempat yang disebut nggon ngaji yang berati tempat murid belajar membaca al- Qur’an. Dalam nggon ngaji ini memang tidak sama jejangnya. Jenjang paling dasar diberikan orang tua dirumah, pada anak- anak usia 5 tahun. Biasanya anak- anak itu disuruh menghafal ayat- ayat pendek. Pada usia 7 atau 8 tahun, anak mulai diperkenalkan cara membaca huruf Arab sampai mampu membaca al- Qur’an. Hal ini biasanya diberikan kakak laki- laki atau perempuan. Bagi anak yang orang tuanya, kakak laki- laki, atau perempuannya tidak bia membaca tulisan Arab, pendidikan diserahkan pada tetangga yang mampu.
Munculnya pesantren-pesantren di Jawa secara meyakinkan dan lembaga pendidikan dengan system klasikal, menyebabkan pengajaran al-Qur’an semakin menemukan momentumnya. Melalui lembaga-lembaga pendidikan ini, al-Qur’an diperkenalkan kepada para generasi muda islam, mulai dari tingkat pengenalan hingga kandungan al-Qur’an dengan kajian-kajian atas beberapa kitab tafsir.[4]
Pada tahun 1831, pemerintah Belanda pernah mencatat setidaknya ada 1.853 nggon ngaji dengan jumlah murid 16.556 murid tersebar di berbagai kabupaten yang didominasi pemeluk Islam di Jawa. Jumlah ini semakin meningkat ada 14.929 nggon ngaji dengan jumlah 222.663 murid , sehingga fenomena ini ini diduga karena komunikasi antar Indonesia dan Saudi Arabia semakin meningkat , sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869.
2.      Awal Pembelajaran Al-Qur’an
Analisis Mahmud Yunus tentang sistem pendidikan Islam pertama di Indonesia memperlihatkan bagaimana al-Qur’an telah diperkenalkan pada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajian al-Qur’an” di surau, langgar, dan masjid. Yunus mengklaim bahwa pendidikan al-Qur’an waktu itu adalah pendidikan Islam pertama yang diberikan kepada anak-anak didik, sebelum diperkenalkan dengan praktik-praktik ibadah (fiqh).[5]
Menurut Karel A. Steenbrink menjelaskan bahwa pengajaran al-Qur’an ini merupakan pelajaran membaca beberapa bagian al-Qur’an. Untuk permulaan anak diajari surat al-Fatihah dan kemudian surah-surah pendek dalam juz ‘amma. Dalam pengajian ini, para murid mempelajari huruf-huruf Arab dan menghafalkan teks-teks yang ada di dalam al-Qur’an itu. Di samping itu, diajarkan pula peraturan dan tata tertib shalat, wudlu, dan beberapa do’a. Mata pelajaran yang diajarkan semua tergantung pada kepandaian guru ngaji, yang juga mengajarkan beberapa unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk melafalkan ayat suci al-Qur’an dengan baik.[6]
Snouck Hurgronje dalam gambaran lain merekam cara pengajaran dalam pengajian al-Qur’an itu, anak-anak berkumpul di salah satu langgar atau serambi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci dihadapan guru satu per satu di bawah bimbingannya, selama ¼ atau ½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kajian kemarin dan lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi, dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur-aduk menjadi satu. Tetapi, karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu dengan suara murid lain.[7]
Hampir tiap-tiap kampung mempunyai langgar atau surau (di Aceh terkenal dengan nama (meunasah). Rumah ini tidak saja hanya di pakai sebagai tempat mengerjakan shalat 5 waktu, tetapi juga untuk tempat mengajar mengaji anak-anak dalam kampung itu. Pelajaran pertama itu biasanya dilakukan demikian : guru membaca dan murid menurut bacaan gurunya itu sambil melihat dan menunjuk kepada huruf-huruf Hijaiyah yang dibacanya itu.[8]
Sehingga pada mulanya  pengajaran atau pengkajian al-Qur’an di Indonesia dimulai dengan memperkenalkan al-Qur’an kepada anak-anak  kemudian mereka diajari membaca maupun menghafal surat-surat pendek dan huruf-huruf hijaiyah serta melafalkan ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an. Pengajaran tersebut biasanya dilakukan di langgar atau serambi rumah sang guru.
BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
 Dari Uraian diatas, Penulis dapat menyimpulkan bahwa bahwa awal masuknya al-Qur’an di Indonesia bersamaan dengan proses awal masuknya Islam di Indonesia yang diperkenalkan para dakwah kepada penduduk di Indonesia.  Kemudian pengajaran atau pengkajian al-Qur’an di Indonesia dimulai dengan memperkenalkan al-Qur’an kepada anak-anak  mereka diajari membaca maupun menghafal surat-surat pendek dan huruf-huruf hijaiyah serta melafalkan ayat-ayat yang ada di dalam al-Qur’an. Pengajaran tersebut biasanya dilakukan di langgar atau serambi rumah sang guru.
2.      Daftar Pustaka
Aceh, Aboebakar. 1989. Sejarah Al-Qur’an. Solo: CV Ramadani.
Gusmian, Islah. 2013. Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi, Jakarta, Teraju.



[1]Aboebakar Aceh. Sejarah Al-Qur’an. Cet. Ke-6. Hal.233.
[2]Ibid., hlm. 234.
[3]Ibid., hal 20-23.
[4]Ibid.,  hal 24-26.
[5]Ibid.,  hlm. 17.
[6]Ibid.,  hlm. 18.
[7]Islah Gusmian. Khazanah Tafsir Indonesia,  hlm. 18.
[8]Aboebakar Aceh. Sejarah Al-Qur’an, hlm. 236-237.

EVALUASI KURIKULUM



EVALUASI KURIKULUM
Description: 200px-Logo-iain

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Pengembangan Kurikulum PAI
Dosen pengampu : Syamsul Huda Rohmadi, M.Ag

Disusun oleh :
Ayu Wiandita                         (143111046)
Ecky Hayu Fitrian                   (143111108)
Umi Baidhah                           (143111150)
Tri Hariyanto                           (143111165)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2014 / 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi maka tidak akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya.
Setiap program, kegiatan-kegiatan atau sesuatu yang lain yang direncanakan selalu diakhiri dengan suatu evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat kembali apakah suatu program atau kegiatan telah sesuai dengan perencanaan atau belum. Dari kegiatan evaluasi akan diketahui hal-hal yang telah atau akan dicapai sudahkah memenuhi kriteria yang ditentukan. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut kemudian diambil keputusan apakah program tersebut akan diteruskan ataukan direvisi/bahkan diganti seluruhnya.
Kegiatan pengembangan kurikulum juga tidak akan lepas dari unsur evaluasi, karena evaluasi merupakan salah satu komponen yang amat penting yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam banyak hal, komponen penilaian sangat berperan dalam menunjang keberhasilan pengembangan kurikulum, seperti yang kita ketahui, kurikulum yang dikembangkan itu masih berupa perencanaan-perencanaan bersifat teoritis dan abstrak. Dengan adanya evaluasi, kita akan memperoleh gambaran mengenai keberhasilan kurikulum yang sedang/telah dikembangakn di sekolah-sekolah. Dari kegiatan evaluasi akan diketahui kelebihan, kelemahan dan kekurangan-kekurangannya

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Evaluasi Kurikulum
Rumusan evaluasi menurut Gronlund adalah suatu proses yang sitematis dari pengumpulan, analisis dan intrepretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran. Sementara itu, Hopkins dan Antes mengemukakan evaluasi adalah pemeriksaan secara terus-menerus untuk mendapatkan informasi yang meliputi siswa, guru, program pendidikan, dan proses belajar mengajar untuk mengetahui tingkat perubahan siswa dan ketetapan keputusan tentang gambaran siswa dan efektivitas program.
Menurut Tyler evaluasi berfokus pada upaya menentukan tingkat perubahan yang terjadi pada hasil belajar. Tujuan evaluasi menurut Tyler, yaitu untuk menentukan tingkat perubahan yang terjadi, baik secara statistik, maupun secara edukatif.
Menurut Morrison evaluasi adalah perbuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggug jawabkan. Dalam hal ini ada tiga faktor utama, yaitu: (1) pertimbangan; (2) deskripsi objek penilaian; dan (3) kriteria yang dapat dipertanggung jawabkan.
Berdasarkan beerapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komprehensif yang di dalamnya meliputi pengukuran. Di samping itu, evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Keputusan evaluasi (value judgment) tidak hanya didasarkan kepada hasil pengukuran (quantitatif description), dapat pula didasarkan kepada hasil pengamatan ( qualitatif description) . Baik yang didasarkan kepada hasil pengukuran (measurement) maupun bukan pengukuran (non measurement) pada akhirnya menghasilkan keputusan nilai tentang suatu program/kurikulum yang dievaluasi.[1]
B.  Tujuan dan Fungsi Evaluasi Kurikulum
Tujuan Evaluasi Kurikulum
Tujuan evaluasi kurikulum berbeda-beda, tergantung dari konsep atau pengertian seseorang tentang evaluasi. Terkadang tujuan tersebut tercantum secara jelas dalam definisi yang dikemukakan tetapi terkadang tidak tercantum dalam definisi yang dikemukakan.[2] Tujuan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Untuk perbaikan program
Disini evaluasi lebih merupakan kebutuhan yang datang dari dalam sistem itu sendiri, karena dipandang sebagai faktor yang memungkinkan dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan.[3]
2.      Pertanggungjawaban kepada berbagai pihak
Selama dan terutama pada akhir fase pengembangan kurikulum, perlu adanya semacam pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut mencakup pemerintah, masyarakat, orangtua, petugas pendidikan dan pihak-pihak lain yang ikut mensponsori kegiatan pengambangan kurikulum yang bersangkutan. Dalam mempertanggungjawabkan hasil yang telah dicapai, pihak pengembang kurikulum perlu mengemukakan kukuatan dan kelemahan kurikulum yang sedang dikembangkan serta usaha lebih lanjut yang diperukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu jika ada. Untuk menghasilkan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan tersebut diperlukan kegiatan evaluasi.[4]
3.      Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan
Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk dua kemungkinan, yaitu: Pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan disebarluaskan ke dalam sistem yang ada. Kedua, kondisi yang bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan disebarluaskan ke dalam sistem yang ada. Kemuadian pertanyaan kedua tersebut dipandang tepat untuk dilanjutkan menjadi sistem kurikulum. Namun perlu memperhatikan aspek-aspek apakah kurikulum itu masih perlu diperbaiki strategi penyebaran yang bagaimana sebaiknya ditempuh serta persyaratan apa saja yang perlu dipersiapkan.[5]
Fungsi Evaluasi Kurikulum
Fungsi evaluasi kurikulum yang sangat meluas dan dikenal secara internasional adalah formatif dan sumatif. Scriven adalah orang pertama yang mengkonseptualisasikan fungsi evaluasi dalam fungsi formatif dan fungsi sumatif serta memberikan makna yang dikenal dunia evaluasi saat ini. Formatif adalah funsi evaluasi untuk memberikan informasi dan pertimbangan yang berkenaan dengan upaya untuk memperbaiki suatu kurikulum. Perbaikan itu dapat dilakukan pada waktu konstruksi kurikulum yang menghasilkan suatu dokumen kurikulum dan pada waktu implementasi kurikulum. Sedangkan fungsi sumatif adalah fungsi kurikulum untuk memberikan pertimbangan terhadap hasil pengembangan kurikulum. Hasil pengembangan kurikulum dapat berupa dokumen kurikulum, hasil belajar ataupun dampak kurikulum terhadap sekolah dan masyarakat.[6]
C.  Desain Evaluasi Kurikulum
Desain evaluasi kurikulum menguraikan tentang data yang harus dikumpulkan serta analisis data untuk membuktikan nilai dan efektivitas kurikulum. Desain evaluasi kurikulum terdiri dari lima langkah, yaitu:
1.    Merumuskan tujuan evaluasi.
2.    Mendesain proses dan metodologi evaluasi.
3.    Menspesifikkan data yang diperlukan untuk menyusun instrument bagi proses pengumpulan data.
4.    Mengumpulkan, menyusun, dan mengolah data.
5.    Menganalisis data dan menyusun laporan mengenai hasil, kesimpulan dan rekomendasi.[7]
D.  Jenis Evaluasi Kurikulum
1.    Berdasarkan bentuk evaluan
a.    Evaluasi konteks
Evaluasi terhadap konteks berkaitan dengan berbagai aspek yang melahirkan suatu dokumen kurikulum. Dalam situasi tertentu, orang melakukan evaluasi mengenai tuntutan masyarkat terhadap  dunia pendidikan dan sering disebut dengan istilah need assessment. Need assessment dilakukan untuk menentukan apa yang diperlukan masyarakat yang dilayani oleh sekolah. Selain need assessment, evaluasi jenis ini adalah evaluasi mengenai kesesuaian antara ide kurikulum dengan lingkungan sosial budaya dimana suatu kurikulum akan dilaksanakan.
b.    Evaluasi dokumen
Evaluasi dokumen terdiri dari evaluasi terhadap dokumen yang dihasilkan oleh Pemerintah dan dokumen kurikulum yang dihasilkan oleh satu satuan pendidikan terhadap dokumen kurikulum berkenaan dengan proses pengembangan dokumen. Evaluasi terhadap dokumen ini dapat dilakukan secara terpisah dari dokumen kurikulum yang dihasilkan oleh satuan pendidikan. Evaluasi kesinambungan dalam evaluasi dokumen kurikulum berkenaan dengan kesinambungan antara standar kompetensi, kompetensi dasar dengan komponen dokumen kurikulum lainnya seperti tujuan, konten, proses pembelajaran dan hasil belajar.
c.    Evaluasi proses
Interaksi dan komunikasi selalu menjadi focus utama evaluasi proses. Suasana kelas, kelengkapan fasilitas belajar dan mengajar, jadwal, pekerjaan yang harus dilakukan guru diluar kelas, pekerjaan yang harus dikerjakan peserta didik diluar kelas atau sekolah, suasana kerja di sekolah dan dukungan masyarakat menjadi focus yang mulai menarik perhatian banyak kajian evaluasi kurikulum selain fokus utama. Faktor lainnya yaitu aspek biaya. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut dapat menjadi penghambat bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang seharusnya.
d.   Evaluasi produk atau hasil
Evaluasi produk atau hasil adalah jenis evaluasi yang mengundang perhatian banyak evaluator. Meskipun jumlah model evaluasi produk tidak sebanyak evaluasi proses, evaluasi hasil menjadi kepedulian pertama para evaluator. Evaluasi hasil didasarkan pada kategori hasil belajar. Hasil belajar efektif berkenaan dengan perilaku nilai, sikap, moral dan nurani. Seorang peserta didik mendapat kesempatan melatih potensi berpikir kritisnya melalui berbagai kesempatan dalam proses pendidikan di berbagai materi pelajaran. Hasilnya dia mungkin saja memiliki kemampuan berpikir kritis pada jenjang mahir.[8]
2.    Berdasarkan posisi evaluator
a.    Evaluasi internal
Evaluasi internal banyak dilakukan untuk penyempurnaan dokumen kurikulum dan penyempurnaan proses implementasi kurikulum. Ketika suatu dokumen kurikulum dikembangkan, maka evaluator seharusnya diikutsertakan sejak awal. Dengan cara ini, maka akan dapat menghayati ide kurikulum dengan baik, mengalami keseluruhan proses pengembangan dan dapat memberikan masukan tanpa perlu kekhawatiran dalam komunikasi.
b.    Evaluasi eksternal
Evaluasi eksternal dilakukan oleh seseorang yang tidak terlibat dalam tim pengembang kurikulum. Evaluator tersebut secara khusus diminta untuk melakukan evaluasi terhadap dokumen, proses atau hasil kurikulum. Kedudukannya sebagai orang luar tentu memberikan berbagai keuntungan seperti dalam objektuvitas. Evaluator eksternal dengan urah dapat mengembangkan objektivitas karena dia tidak terlibat dalam proses pengembangan kurikulum dan dia dapat menjaga jarak dengan evaluannya.[9]
3.    Berdasarkan metodologi
Dari kategori metodologi dikenal adanya pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pengaruh pendekatan yang digunakan dalam studi kurikulum berpengaruh terhadap evaluasi kurikulum. Metodologi yang dikembangkan dari tradisi kuantitatif pada mulanya merupakan metodologi satu-satunya dalam evaluasi. Pendekatan kuantitatif melahirkan berbagai metode dan model evaluasi kurikulum kuantitatif sedangkan pendekatan kualitatif melahirkan beragai metode dan model evaluasi kualitatif.[10]
E.  Model-model Evaluasi Kurikulum
Model evaluasi kurikulum yang dikembangkan selama ini dibagi menjadi empat model yaitu:
1.    Model Measurement
Evaluasi pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil belajar terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat diukur dengan alat evaluasi yang objektif serta dapat dibakukan. Pendekatan pada evaluasi ini adalah dengan cara:
a.    Menempatkan kedudukan setiap siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.
b.    Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program atau metode pengajaran yang berbeda-beda malalui analisis secara kuantitatif.
c.    Teknik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk objektif, yang terus dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang valid.[11]
2.    Model Congruence
Evaluasi ini menekankan pada kesesuaian antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi diperlukan rangka penyempurnaan program, bimbingan pendidikan dan pemberian informasi kepada pihak-pihak diluar pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan sikap. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu:
a.    Menggunakan prosedur pre dan post essessment dengan menempuh langkah-langkah pokok seperti penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi dan penggunaan hasil evaluasi.
b.    Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
c.    Teknik evaluasi mencakup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya yang cocok untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
d.   Kurang menyetujui ditiadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau lebih program.[12]
3.    Illumination
Model ini pelaksanaan program pengaruh faktor lingkungan, kebaikan dan kelemahan program serta pengaruh program terhadap perkembangan hasil belajar. Objek evaluasi mencakup latar belakang dan perkembangan program, proses pelaksanaan, hasil belajar dan kesulitan yang dialami. Pendekatan dengan cara sebagai berikut:
a.    Menggunakan presedur progressive focusing dengan langkah-langkah pokok: orientasi, pengamatan lebih terarah dan analisis sebab-akibat.
b.    Bersifat kualitatif-terbuka dan fleksibel-efektif.
c.    Teknik evaluasi mencakuo observasi, wawancara, angket, analisis dokumen dan bila perlu mencakup pula tes.[13]
4.    Educational System Evaluation
Evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi program dan kriteria yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgment. Hasil evaluasi diperlukan untuk penyempurnaan program dan penyimpulan hasil program secara keseluruhan. Objek evaluasi adalah input (bahan, rencana dan peralatan). Cara pendekatan evaluasi ini yaitu:
a.    Membandingkan performance setiap dimensi program dengan kriteria internal.
b.    Membandingkan performance program dengan menggunakan kriteria eksternal yaitu performance program yang lain.
c.    Teknik evaluasi mencakup tes, observasi, wawancara, angket dan analisis dokumen.[14]
F.   Prosedur Evaluasi Kurikulum
Presedur evaluasi kurikulum terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori umum dan kategori khusus. Kategori umum membahas mengenai prosedur umum yang harus dilakukan evaluator sejak awal pekerjaan sampai penyerahan laporan. Sedangkan prosedur khusus dihubungkan dengan prosedur pendekatan tertentu yang digunakan oleh evaluator.[15]
Dalam hal ini, prosedur dibedakan atas prosedur yang harus diikuti oleh evaluator yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya, evaluasi kuantitatif menggunakan prosedur yang diambil dari penelitian kuantitatif dengan prosedur yang dilalui adalah:
1.    Penentuan masalah dan pertanyaan evaluasi.
2.    Penentuan variabel, jenis data dan sumber data.
3.    Penentuan metodologi.
4.    Pengembangan instrumen.
5.    Penentuan proses pengumpulan data.
6.    Penentuan proses pengolahan data.[16]
Prosedur pengumpulan data kualitatif dikendalikan oleh tradisi fenomenologi dan metodologi yang dikenal dengan istilah kualitatif. Pada dasarnya, ada empat hal pokok yang harus dilakukan evaluator ketika melakukan evaluasi kurikulum, yaitu:
1.      Menentukan fokus evaluasi.
2.      Perumusan masalah dan pengumpulan data.
3.      Proses pengolahan data.
4.      Menetukan perbaikan dan perubahan program.[17]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi lebih bersifat komprehensif yang di dalamnya meliputi pengukuran. Di samping itu, evaluasi pada hakikatnya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek. Tujuan evaluasi kurikulum yaitu untuk perbaikan program, pertanggungjawaban kepada berbagai pihak, Penentuan tindak lanjut hasil pengembangan. Fungsi evaluasi kurikulum yang sangat meluas dan dikenal secara internasional adalah formatif dan sumatif. Formatif adalah fungsi evaluasi untuk memberikan informasi dan pertimbangan yang berkenaan dengan upaya untuk memperbaiki suatu kurikulum. fungsi sumatif adalah fungsi kurikulum untuk memberikan pertimbangan terhadap hasil pengembangan kurikulum. Kemudian desain evaluasi kurikulum terdiri dari lima langkah, yaitu: Merumuskan tujuan evaluasi, Mendesain proses dan metodologi evaluasi., menspesifikkan data yang diperlukan untuk menyusun instrument bagi proses pengumpulan data, mengumpulkan menyusun dan mengolah data Serta menganalisis data dan menyusun laporan mengenai hasil, kesimpulan dan rekomendasi. Jenis Kurikulum didasarkan 3 bentuk yaitu berdasarkan evaluan diantaranya evaluasi konteks, evaluasi dokumen, evaluasi proses, dan evaluasi produk atau hasil. Kemudian berdasarkan posisi evaluator diantaranya Evaluasi internal, Evaluasi eksternal. Dan berdasarkan metodologi ini yaitu terdapat pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Model-model Evaluasi Kurikulum terbagi menjadi empat model yaitu: Model Measurement, Model Congruence, Illumination, dan Educational System Evaluation. Presedur evaluasi kurikulum terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori umum dan kategori khusus. Kategori umum membahas mengenai prosedur umum yang harus dilakukan evaluator sejak awal pekerjaan sampai penyerahan laporan. Sedangkan prosedur khusus dihubungkan dengan prosedur pendekatan tertentu yang digunakan oleh evaluator.




















DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2012. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rohmadi, Syamsul Huda. 2012. Pengembangan Kurikulum Agama Islam. Yogyakarta: Araska.
Nasution. 1999. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara.








[1]Rusman, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: 2012), hlm. 93-94.
[2]Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, Cet. ke-2 (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 42.
[3]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, Cet. ke-2 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 110.
[4]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hlm. 110-111.
[5]Syamsul Huda Rohmadi, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Araska, 2012), hlm. 25-26.
[6]Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, hlm. 46.
[7]Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Cet. ke-3 (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999), hlm. 90.
[8]Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, hlm. 136-146.
[9]Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, hlm. 147-151.
[10]Ibid., hlm. 152.
[11]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hlm. 112.
[12]Syamsul Huda Rohmadi, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 27.
[13]Syamsul Huda Rohmadi, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 28.
[14]Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, hlm. 113-114.
[15]Hamid Hasan, Evaluasi Kurikulum, hlm. 177.
[16]Ibid., hlm. 168.
[17]Ibid, hlm. 172.