Senin, 21 Maret 2016

Hadist Mengenai Ilmu Pengetahuan



BAB 1
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Menulis adalah sebuah kegiatan menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang diungkapkan dalam bahasa tulis. Selain itu menulis adalah cara yang digunakan untuk mengikat ilmu pengetahuan karena tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan akal manusia dalam menghafal suatu ilmu pengetahuan membuat manusia memerlukan sarana yang dapat untuk mengikat ilmu pengetahuan. Selain menulis dapat digunakan untuk mengingat kembali apa yang telah dipelajari namun lupa karena faktor-faktor tertentu. Selain itu ada manfaat lain saat kita menulis ilmu pengetahuan dimana hasil tulisan ilmu pengetahuan dapat menjadi batu loncatan penting dalam mentransfer ilmu pengetahuan pada siapa saja walau si penulis telah tiada namun selama catatan nya terus dibaca orang lain maka selama itu juga ilmunya akan terus mengalir kepada siapa saja.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa dasar hadits tentang menulis ?
2.    Seberapa penting menulis ilmu pengetahuan?
3.    Apa manfaat menulis ilmu pengetahuan?











BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadits Tentang yang Berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ


“…Abu Juh }aifah berkata: ‘aku bertanya pada ali bin Abi Talib, apakah kalian (ahl bait Nabi saw) memiliki kitab (selain al-Quran)? ‘Ali menjawab: ‘tidak  ada kecuali al-Quran (dan) atau pemahaman yang diberikan  (Allah awt) pada seorang Muslim (dari al-Quran dan) atau apa yang ada dalam lembaran ini’. Abi Juh }aifah berkata aku bertanya (lagi): ‘lalu apa yang ada di lembaran itu?’ ‘Ali menjawab: ‘lembaran ini berisi tentang diyat, membebaskan tawanan dan Muslim tak akan dibunuh lantaran telah membunuh kafir (yang bermusuhan/ harbiy).”

a)        Makna Global dan Kandungan Utama Hadits
Dialog antara sahabat abu Juhaifah dan Imam ‘Ali (w. 40 H) memuat pesan utama bahwa menulis ilmu pengetahuan adalah penting. Hadis tersebut tak langsung disandarkan pada Nabi saw., tapi tetap bernilai marfu’ lantaran ungkapan ‘Ali tenyang tulisan yang ada dalam lembaran tersebut, diyakini sebagai hasil dari tulisan ‘Ali yang didiktekan langsung oleh Nabi saw. Tak heran al-Bukhariy mencantumkan hadis ini sebagai hadis pertama dalam pasal (bab) Kitabah al-‘Ilm dari topik ilmu (Kitab al-‘Ilm).[1]
Tulisan yang ada dalam lembaran milik Imam ‘Ali berisi tentang diyat; denda yang harus dibayar lantaran membunuh, membebaskan tawanan perang dan hokum qisas yang tidak berlaku bagi Muslim jika membunuh non Muslim yang memusuhi (baca: memerangi) Muslim adalah sebagian dari catatan ‘Ali seperti yang akan terlihat. Catatan ‘Ali tersebut merujuk pada anjuran menulis ilmu pengetahuan karena melalui tulisan, hal-hal yang terlupa bisa dilihat dan diingat kembali serta membantu hafalan seseorang.[2]
b) Analisis Hadits
1. Menulis Ilmu Pengetahuan Dalam Islam
            Sejak awal Islam telah memotivasi dan menyuruh kaum muslim untuk membaca melalui ayat 1-5 dan secara khusus mengisyaratkan menulis ilmu pengetahuan melalui ayat 4 dari QS; al-‘Alaq. Dalam praktek, Nabi saw menyuruh para sahabat menulis semua ayat Al-Qur’an sejak awal diturunkan sampai ayat terakhi dengan membuat  tim penulis wahyu. Beberapa sahabat seperti ‘Ali, ‘Ustman (W. 35 H), Mu’az bin Jabal (W. 18 H), Ibnu Mas’ud (W. 32 H), Ubaiy bin Ka’ab (W. 33 H), Zaid bin Sabit (W. 41-45 H) termasuk diantara penulis wahyu di masa Nabi saw. Al-Qur’an telah ditulis seluruhnya sebelum Nabi saw wafat walau belum dikumpulkan dalam satu buku, tetapi seluruh ayat telah ditulis di lembaran-lembaran, pelapah kurma, batu tulis maupun tulang belulang hewan yang dapat dijadikan sebagai media tulis menulis. Tulis menulis hadist juga terjadi dalam waktu hampir bersamaan dengan penulisan Al-Qur’an. Walau penulisan hadis dimasa Nabi saw sempat dilarang bahkan oleh Nabi saw sendiri namun padaa khirnya dibolehkan.
 Riwayat yang melarang penulisan hadits :[3]
1)        Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”janganlah menulis daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain al-Qur’an maka lenyapkanlah, dan ambilah hadits dariku dan tidak mengapa, barangsiapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”.
2)        Dari Abu Hurairah r.a. berkata,”Rasulullah SAW dating kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits, lalu beliau bersabda, “apa yang sedang kalian tulis?” Kami menjawab,”Hadits-hadits yang kami dengar dari engkau. Beliau berkata,”Apakah kalian menghendaki kitab selain kitabullah?  Tidaklah sesat sebelum kalian melainkan karena menulis dari kitab-kitab selain kitabullah”.[4]
Riwayat yang membolehkan penulisan hadits :
1)   Dari Abdullah binal-Ash r.a. berkata,”Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasullullah, dengan maksud ingin menhafalnya, lalu kaum quraisy melarangku, dan mereka mengatakan,’Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan gembira?’ Maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah, kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya bersabda,”Tulislah, demi jiwaku di tangan-Nya tiada suatu apapun yang keluar darinya melainkan yang hak dan yang benar”.[5]
2)   Dari Abu Hurairah r.a. berkata,” Tiada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru (al-Ash) Karena dia menulis sedangkan aku tidak menulis”.[6]
3)   Dari Anak bin Malik r.a. berkata,” Rasullullah SAW bersabda, “ikatlah ilmu dnegan buku”.[7]
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Ash-Shalah berkata,”Para ulama bersilih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian di antara mereka melarang penulisan hadits dan ilmu dan menyuruh untuk menghafalnya, dan sebagian lain membolehkannya.
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah :
1.        Umar
2.        Ibnu Mas’ud
3.        Zaid bin Tsabit
4.        Abu Musa
Abu Sa’id al-Khudri dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabi’in r.a.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits atau yang melakukkannya adalah :
1.    Ali
2.    Hasan bin Ali
3.    Anas
4.    Abdullah bin Amru bin al-Ash dan sekelompok lainnya dari sahabat dan tabi’in r.a.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih, antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut :
1.    Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits Nabi dan al-Qur’an. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif dan banyak para penghafal al-Qur’an, Rasulullah mengizinkan untuk menulis hadit, dan melarangnya sebelum mansukh (terhapus).
2.    Larangannya hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan dengan al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi kemiripan atau persamaan.
3.    Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam menghafalnya seperti Abu Syah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini  hanyalah terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat membolehkan penulisan tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata,”lalu hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah tidak dibukukan dalam bentuk tulisan tentu hadits itu akan lenyap pada masa-masa berikutnya”.
Maka dengan demikian, hilanglah kesan pertentangan antara nash-nash yang ada.Memang secara factual penulisan hadist lebih lambat dari penulisan al-Qur’an, seperti diketahui seluruh ayat al-Qur’an telah ditulis ketika Nabi saw masih hidup dan dikumpulkan satu kitab di masa Abu Bakaral-Siddiq menjadi dikhalifah (11-13 H)., sementara hadist dikumpulkan secara masal di masa ‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz menjabat khalifah (99-101 H). keterlambatan penulisan hadistd sebabkan beberapa alasan, dan alasan yang paling logis adalah larangan tersebut diperuntukan bagi sahabat yang tak pandai menulis karena dikhawatirkan umat islam nanti kurang memiliki perhatian  pada Al-Qur’an.[8] Selain itu menurut keterangan  Ibnu Hajar[9] keterlambatan pembukuan hadits sampai akhir masa Tabiin adalah karena tiga faktor berikut :
1.      Kebanyakan mereka tidak dapat menulis
2.      Kekuatan hafalan dan kecerdasaan mereka sudah dapat diandalkan sehingga mereka tidak perlu menulis hadis.
3.      Semula adanya larangan dari Nabi untuk menulis hadits, seperti terdapat dalam Shahih Muslim. Hal itu karena di khawatiran sejumlah hadits akan tercampur dengan Al-Quran, sehingga Al-Quran tidak murni lagi.
2. Tradisi Menulis Ilmiah Ulama Islam
Sebelum tradisi akademik menulis ilmiah pada periode setelah Nabi Muhammad wafat, zaman Nabi Muhammad telah memiliki kebiasaan menulis yaitu menulis surat. Nabi Muhammad mengirimkan surat untuk berbagai tujuan dimana bentuk surat Nabi dibagi menjadi dua katagori yaitu  pertama Surat-surat Nabi yang ditunjukkan kepada para kabilah dan pemimpin kabilah contohnya Surat Nabi kepada Bani Haritsah yang berisikan ajakan untuk memeluk Islam dan kedua surat-surat Nabi Saw yang ditunjukkan kepada para penguasa dan kepala negara tetangga. Di antaranya adalah Surat Nabi Saw kepada raja Najasyi di Abisinia yang dikirim melalui Amr’ ibn Ummayah al-Dlamariy dan berisi ajakan untuk memeluk Islam.[10]
Rentetan tradisi akademik  yang menjadikan ulama Islam masa awal (abad I-III atau IV H) berlomba-lomba melahirkan karya mereka di berbagai disiplin ilmu, berupa aneka kitab dari beragam aspek ilu agama seperti nahwu, sarf, tafsir, hadis, usul fiqh, fiqh, tarikh maupun ilmu umum seperti kedokteran, optik, filsafat, plitik, ndeks buku, sosial masyarakat dan sebagainya. Semua kitab tersebut ditulis dengan alur logika dan analisa yang mendalam, metodologis, sistematik dan konsisten seperti yang dapat dicontohkan berikut.
Seperti ulama islam lain, ulama hadis abad III dan IV H menulis karya mereka dalam bidang hadis yang meliputi ilmu hadis, kitab hadis, dan kitab perawi hadis. Kitab yang berisi ilmu hadis seperti al-Muhaddis al-Fasil baiyna al-Rawiy wa al-Wa’iy karya al-Ramahurmuzy (w. 360) adalah kitab pertama ilmu hadis yang terpisah dengan hadis dan disusun secara teratur. Kitab yang berisi hadis seperti Sahih al-Bukhariy ditulis oleh imam al-Bukhariy (w. 256 H) yang disusun berdasarkan pembahasan (kitab) dan di setiap pembahasan terdapat pasal (bab). Sahih al-Bukhariy  dimulai dengan pembahasan tentang permulaan wahyu dan diakhiri dengan pembahasan tentang tauhid. Susunan kitab Sahih berbeda dengan susunan kitab Sunan secara sistematika maupun metodologinya.
B.  Pentingnya Menulis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris, science, yang berarti pengetahuan. Kata science itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, scientia, yang berarti pengetahuan. Namun pengertian yang umum digunakan, ilmu pengetahuan adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat diterima oleh rasio. Ada yang berpendapat bahwa  ilmu pengetahuan adalah gambaran atau keterangan yang lengkap dan konsisiten tentang fakta-fakta pengalaman manusia yang disusun dengan metode-metode tertentu, dan mempergunakan istilah-istilah yang disederhanakan.[11] sedangakan Menulis adalah sebuah kegiatan menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang diungkapkan dalam bahasa tulis. Jadi menulis Ilmu Pengetahuan adalah menuangkan suatu ilmu setelah melalui pengkajian dalam sebuah tulisan.
Kemudian tulisan sangat diperlukan karena diakhir zaman nanti ilmu akan dicabut yaitu dengan meninggalnya para ulama. Karena dengan tulisan juga salah satu fasilitas untuk mengikat atau mengabadikan ilmu. Seandainya tulisan itu tidak ada, maka ilmu akan hilang seiringan dengan wafatnya para ulama. Seperti yang dijelaskan pada hadits di bawah ini:
Artinya:   Diriwayatkan dari Amr’ bin Malik RA, dia berkata: Perhatikanlah! Akan aku beritahukan pada kalian suatu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW.
yang tidak akan dituturkan pada kalian oleh seseorang sepeninggalku yang pernah ia dengar dari beliau: “Diantara tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu (keislaman),maraknya kebodohan”. Allah tidak mencabut ilmu agama langsung dari hamba-Nya , tetapi tercabutnya ilmu dengan matinya ulama, sehingga bila tidak orang alim lalu orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh agama,  jika ditanya  agama maka ia  menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Selain di dalam hadits anjuran menulis juga terdapat dalam al-Qur’an:
@è% öq©9 tb%x. ãóst7ø9$# #YŠ#yÏB ÏM»yJÎ=s3Ïj9 În1u yÏÿuZs9 ãóst6ø9$# Ÿ@ö7s% br& yxÿZs? àM»yJÎ=x. În1u öqs9ur $uZ÷¥Å_ ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ #YŠytB ÇÊÉÒÈ  

109. Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Ilmu juga perlu diikat dengan kita menulisnya. Kata Imam As-Syafi’I rahimahullah “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya,”[12]
 C. Manfaat Menulis Ilmu Pengetahuan[13]
1. Agar dapat Menelusuri Jejak Pendahulu “Buku adalah pengusung peradaban.Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra menjadi bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.
(Barbara Tuchman).
Meskipun saat ini teknologi semakin canggih hingga suatu berita atau peristiwa dengan cepat bisa tersaji, seperti Televisi, radio dan alat elektronik lainnya.Tetapi tetap saja sebuah tulisan atau teks menjai kebutuhan, sehingga media cetak misalnya masih laku dibeli oleh banyak orang.karena tulisannya dapat ditelusuri dengan mudah jika sewaktuwaktu dicari atau dibutuhkan untuk dijadikan sebagai kutipan atau bahan referensi. Dan hal itu diantaranya berkat para jurnalis yang rajin menulis dan menyajikan berita/fakta secara tertulis.
2. Agar dapat Mengikat Ilmu
Ali Bin Abi Thalib pernah berujar “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”jelaslah dari kata Syaidina Ali tersebut bahwa salah satu cara untuk menghimpun ilmu dengan menulis atau mencatatnya. Seperti pengembala kambing agar tidak kehilangan kambingnya maka harus mengikat kambing tersebut dengan tambang.
Sa’ad bin Jubair pernah berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibnu Abbas, aku biasa mencatat dilembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian ditangannku. Ayahku sering bertkata: Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tuliskanlah. Bila telah sampai di rumah, tuliskan lah.Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.”
3. Memanfaatkan Peluang
Era refomarsi memgawa peruaghana terhadapa perkembgangan media masa  (media cetak, media elektronik, dan media online). Perkembangan ini mampu memberikan ruang gerak bagi penulis dan wartawan. Tumbuh dan berkembangnya media massa tidak hanya memberikan ruang luas kepada wartawan, tetapi juga menjadi ladang emas bagi penulis lepas (free lance). Sebuah kerugian  besar jika peluang ini tidak dimanfaatkan.(Waitlem: 2007).

4. Menulis Juga Sebagai Obat
Pada tahun 1986 James W. Pennebaker dan reakannya Sandra Beall melakukan riset tetang hubungan menulis dan kesehatan . dalam riset tersebut disimpulkan bahwa seseorang yang sering meulis lebih jaranf sakit. Dengan menulis seseorang akan lebih tenang dan kegelisahan bisa terendam . akibatnya, energi yang sedianya digunakan untuk merendan kegelesihan bisa terkumpul  untuk membangun sisitem kekebalan tubuh.Pennebaker juga menyimpulkan bahwa menulis rutin tiap hari selama 15-30 menit dengan gaya narasi, mampu membuat kondisi tubuh dan pikiran menjadi lebih sehat. Dari berbagai uji coba, terapi ini mampu menyembuhkan dari berbagai jenis penyakit, dari stress, trauma sampai penyakit yang lebih berat seperti kanker.













BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
                Menulis adalah sebuah kegiatan menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang diungkapkan dalam bahasa tulis. Karena dengan menulis maka kita akan dapat mengikat ilmu pengetahuan yang kita peroleh. Selain itu menulis juga sarana yang dapat digunakan untuk menuangkan ilmu pada sebuah catatan yang akan bisa dibaca orang lain jadi secara tidak langsung dengan menulis ilmu pengetahuan dapat bermanfaat untuk orang lain. Selain  itu manfaat menulis ilmu pengetahuan antara  lain agar dapat menelusuri jejak pendahulu, dapat menikat ilmu memanfaatkan peluang dan menulis sebagai obat.

DAFTAR PUSTAKA

Ja’far, Assagaf, 2015.Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) Cet I. Sukoharjo: Fataba Press..
Nata, Abuddin 1994.al-Quran dan Hadis (Dirasah Islamiyah I). cet III. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
M.M.Azami, 1994..Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Cet.I. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Saifuddin, 2011. Arus Tradisi Hadis dan Historiografi Islam. Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qaththan, Manna’.2004. Pengantar Studi Ilmu Hadits,Cet.IV, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.


[1]Ja’far Assagaf, Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) (Sukoharjo: Fataba Press, cet I, 2015), hlm. 194.

[2]Ibid., hlm. 195
[3]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,Cet.IV, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2004), hlm.47.
[4] Diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi dalam Tayqidull Ilmi, ditahqiq Yusuf al-Isy hal.33, Dar Ihya’Sunnah Nabawiyah.
[5] Diriwayatkan ad-Dzarimi dalam Sunannya, al-Khatib dalam Taqyidul Ilmii, dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadlihi.
[6] HR. Bukhari
[7] Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi hal.74 dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Lilmi wa Fadlihi 1/85
[8]Ja’far Assagaf, Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) ……, hlm. 196.
[9]M.M.Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Cet.I.(Jakarta:Pustaka Firdaus,1994), hlm.109.
[10]Saifuddin, Arus Tradisi Hadis dan Historiografi Islam. Cet.I,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011) hlm,118.
[11]Abuddin Nata, al-Quran dan Hadis (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet III, 1994),  hlm. 93-94

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. banyak sekali dikutip dari buku jejak-jejak cahaya Nabi Muhammad saw tp dicantumin hny 3 catatan kaki, padahal kata-kata tersebut juga nukilan langsung

    BalasHapus