BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menulis adalah sebuah kegiatan
menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang diungkapkan dalam
bahasa tulis. Selain itu menulis adalah cara yang digunakan untuk mengikat ilmu
pengetahuan karena tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan akal manusia dalam
menghafal suatu ilmu pengetahuan membuat manusia memerlukan sarana yang dapat
untuk mengikat ilmu pengetahuan. Selain menulis dapat digunakan untuk mengingat
kembali apa yang telah dipelajari namun lupa karena faktor-faktor tertentu.
Selain itu ada manfaat lain saat kita menulis ilmu pengetahuan dimana hasil
tulisan ilmu pengetahuan dapat menjadi batu loncatan penting dalam mentransfer
ilmu pengetahuan pada siapa saja walau si penulis telah tiada namun selama
catatan nya terus dibaca orang lain maka selama itu juga ilmunya akan terus
mengalir kepada siapa saja.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa dasar hadits tentang menulis ?
2.
Seberapa penting menulis ilmu pengetahuan?
3.
Apa manfaat menulis ilmu pengetahuan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Tentang yang Berkaitan dengan Ilmu
Pengetahuan
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ
لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ هَلْ عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ أَوْ
فَهْمٌ أُعْطِيَهُ رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ قُلْتُ
فَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَلَا
يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ
“…Abu Juh }aifah berkata: ‘aku bertanya
pada ali bin Abi Talib, apakah kalian (ahl bait Nabi saw) memiliki kitab
(selain al-Quran)? ‘Ali menjawab: ‘tidak
ada kecuali al-Quran (dan) atau pemahaman yang diberikan (Allah awt) pada seorang Muslim (dari
al-Quran dan) atau apa yang ada dalam lembaran ini’. Abi Juh }aifah berkata aku
bertanya (lagi): ‘lalu apa yang ada di lembaran itu?’ ‘Ali menjawab: ‘lembaran
ini berisi tentang diyat, membebaskan tawanan dan Muslim tak akan dibunuh
lantaran telah membunuh kafir (yang bermusuhan/ harbiy).”
a)
Makna Global
dan Kandungan Utama Hadits
Dialog antara sahabat abu
Juhaifah dan Imam ‘Ali (w. 40 H) memuat pesan utama bahwa menulis ilmu
pengetahuan adalah penting. Hadis tersebut tak langsung disandarkan pada Nabi
saw., tapi tetap bernilai marfu’ lantaran ungkapan ‘Ali tenyang tulisan yang ada
dalam lembaran tersebut, diyakini sebagai hasil dari tulisan ‘Ali yang
didiktekan langsung oleh Nabi saw. Tak heran al-Bukhariy mencantumkan hadis ini
sebagai hadis pertama dalam pasal (bab)
Kitabah al-‘Ilm dari topik ilmu (Kitab al-‘Ilm).[1]
Tulisan yang ada dalam lembaran
milik Imam ‘Ali berisi tentang diyat;
denda yang harus dibayar lantaran membunuh, membebaskan tawanan perang dan
hokum qisas yang tidak berlaku bagi Muslim jika membunuh non Muslim yang
memusuhi (baca: memerangi) Muslim adalah sebagian dari catatan ‘Ali seperti
yang akan terlihat. Catatan ‘Ali tersebut merujuk pada anjuran menulis ilmu
pengetahuan karena melalui tulisan, hal-hal yang terlupa bisa dilihat dan
diingat kembali serta membantu hafalan seseorang.[2]
b) Analisis Hadits
1. Menulis Ilmu
Pengetahuan Dalam Islam
Sejak awal
Islam telah memotivasi dan menyuruh kaum muslim untuk membaca melalui ayat 1-5
dan secara khusus mengisyaratkan menulis ilmu pengetahuan melalui ayat 4 dari
QS; al-‘Alaq. Dalam praktek, Nabi saw menyuruh para sahabat menulis semua ayat
Al-Qur’an sejak awal diturunkan sampai ayat terakhi dengan membuat tim penulis wahyu. Beberapa sahabat seperti
‘Ali, ‘Ustman (W. 35 H), Mu’az bin Jabal (W. 18 H), Ibnu Mas’ud (W. 32 H),
Ubaiy bin Ka’ab (W. 33 H), Zaid bin Sabit (W. 41-45 H) termasuk diantara penulis
wahyu di masa Nabi saw. Al-Qur’an telah ditulis seluruhnya sebelum Nabi saw
wafat walau belum dikumpulkan dalam satu buku, tetapi seluruh ayat telah ditulis
di lembaran-lembaran, pelapah kurma, batu tulis maupun tulang belulang hewan
yang dapat dijadikan sebagai media tulis menulis. Tulis menulis hadist juga terjadi
dalam waktu hampir bersamaan dengan penulisan Al-Qur’an. Walau penulisan hadis dimasa
Nabi saw sempat dilarang bahkan oleh Nabi saw sendiri namun padaa khirnya dibolehkan.
Riwayat yang melarang penulisan hadits :[3]
1)
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda,”janganlah
menulis daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain al-Qur’an maka
lenyapkanlah, dan ambilah hadits dariku dan tidak mengapa, barangsiapa yang
berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari
api neraka”.
2)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata,”Rasulullah SAW dating
kepada kami dan sedangkan kami menulis hadits, lalu beliau bersabda, “apa yang sedang kalian tulis?” Kami
menjawab,”Hadits-hadits yang kami dengar dari engkau. Beliau berkata,”Apakah
kalian menghendaki kitab selain kitabullah?
Tidaklah sesat sebelum kalian melainkan karena menulis dari kitab-kitab
selain kitabullah”.[4]
Riwayat yang
membolehkan penulisan hadits :
1)
Dari Abdullah binal-Ash r.a. berkata,”Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar
dari Rasullullah, dengan maksud ingin menhafalnya, lalu kaum quraisy
melarangku, dan mereka mengatakan,’Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu
dengar dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat
marah dan gembira?’ Maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan
kepada Rasulullah, kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya
bersabda,”Tulislah, demi jiwaku di tangan-Nya tiada suatu apapun yang keluar
darinya melainkan yang hak dan yang benar”.[5]
2)
Dari Abu Hurairah r.a. berkata,” Tiada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang lebih banyak haditsnya
dariku kecuali Abdullah bin Amru (al-Ash) Karena dia menulis sedangkan aku
tidak menulis”.[6]
3) Dari
Anak bin Malik r.a. berkata,” Rasullullah
SAW bersabda, “ikatlah ilmu dnegan buku”.[7]
Atas dasar perbedaan nash inilah para ulama berselisih
pendapat dalam penulisan hadits. Ibnu Ash-Shalah berkata,”Para ulama bersilih pendapat dalam penulisan hadits, sebagian di antara
mereka melarang penulisan hadits dan ilmu dan menyuruh untuk menghafalnya, dan
sebagian lain membolehkannya.
Mereka yang melarang penulisan hadits adalah :
1.
Umar
2.
Ibnu Mas’ud
3.
Zaid bin Tsabit
4.
Abu Musa
Abu Sa’id al-Khudri dan sekelompok lainnya
dari sahabat dan tabi’in r.a.
Sedangkan yang membolehkan penulisan hadits atau yang
melakukkannya adalah :
1.
Ali
2.
Hasan bin Ali
3.
Anas
4.
Abdullah bin Amru bin al-Ash dan sekelompok lainnya
dari sahabat dan tabi’in r.a.
Para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih,
antara mereka yang melarang dan membolehkan penulisan hadits sebagai berikut :
1.
Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan
Islam dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadits Nabi dan
al-Qur’an. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif dan banyak para penghafal
al-Qur’an, Rasulullah mengizinkan untuk menulis hadit, dan melarangnya sebelum
mansukh (terhapus).
2.
Larangannya hanya khusus pada penulisan hadits bersamaan
dengan al-Qur’an dalam satu lembar atau shahifah, karena khawatir terjadi
kemiripan atau persamaan.
3.
Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu
menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedangkan
diperbolehkan penulisan hanya bagi orang yang diyakini tidak mampu dalam
menghafalnya seperti Abu Syah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa
adanya perbedaan ini hanyalah terjadi
pada masa awal saja, kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat membolehkan penulisan
tersebut. Ibnu Ash-Shalah berkata,”lalu
hilanglah perbedaan, dan kaum muslimin sepakat untuk membolehkannya. Kalaulah
tidak dibukukan dalam bentuk tulisan tentu hadits itu akan lenyap pada
masa-masa berikutnya”.
Maka dengan demikian, hilanglah
kesan pertentangan antara nash-nash yang ada.Memang secara factual penulisan hadist
lebih lambat dari penulisan al-Qur’an, seperti diketahui seluruh ayat al-Qur’an
telah ditulis ketika Nabi saw masih hidup dan dikumpulkan satu kitab di masa
Abu Bakaral-Siddiq menjadi dikhalifah (11-13 H)., sementara hadist dikumpulkan secara
masal di masa ‘Umar bin ‘Abd ‘Aziz menjabat khalifah (99-101 H). keterlambatan penulisan
hadistd sebabkan beberapa alasan, dan alasan yang paling logis adalah larangan tersebut
diperuntukan bagi sahabat yang tak pandai menulis karena dikhawatirkan umat islam
nanti kurang memiliki perhatian pada
Al-Qur’an.[8] Selain itu menurut
keterangan Ibnu Hajar[9] keterlambatan pembukuan
hadits sampai akhir masa Tabiin adalah karena tiga faktor berikut :
1.
Kebanyakan mereka tidak dapat menulis
2.
Kekuatan hafalan dan kecerdasaan mereka sudah dapat
diandalkan sehingga mereka tidak perlu menulis hadis.
3.
Semula adanya larangan dari Nabi untuk menulis hadits,
seperti terdapat dalam Shahih Muslim.
Hal itu karena di khawatiran sejumlah hadits akan tercampur dengan Al-Quran,
sehingga Al-Quran tidak murni lagi.
2.
Tradisi Menulis Ilmiah Ulama Islam
Sebelum tradisi akademik menulis ilmiah pada periode
setelah Nabi Muhammad wafat, zaman Nabi Muhammad telah memiliki kebiasaan
menulis yaitu menulis surat. Nabi Muhammad mengirimkan surat untuk berbagai
tujuan dimana bentuk surat Nabi dibagi menjadi dua katagori yaitu pertama
Surat-surat Nabi yang ditunjukkan kepada para kabilah dan pemimpin kabilah
contohnya Surat Nabi kepada Bani Haritsah yang berisikan ajakan untuk memeluk
Islam dan kedua surat-surat Nabi Saw
yang ditunjukkan kepada para penguasa dan kepala negara tetangga. Di antaranya
adalah Surat Nabi Saw kepada raja Najasyi di Abisinia yang dikirim melalui Amr’
ibn Ummayah al-Dlamariy dan berisi ajakan untuk memeluk Islam.[10]
Rentetan tradisi akademik yang menjadikan ulama Islam masa awal (abad
I-III atau IV H) berlomba-lomba melahirkan karya mereka di berbagai disiplin
ilmu, berupa aneka kitab dari beragam aspek ilu agama seperti nahwu, sarf,
tafsir, hadis, usul fiqh, fiqh, tarikh maupun ilmu umum seperti kedokteran,
optik, filsafat, plitik, ndeks buku, sosial masyarakat dan sebagainya. Semua
kitab tersebut ditulis dengan alur logika dan analisa yang mendalam,
metodologis, sistematik dan konsisten seperti yang dapat dicontohkan berikut.
Seperti ulama islam lain, ulama hadis abad III dan IV H
menulis karya mereka dalam bidang hadis yang meliputi ilmu hadis, kitab hadis,
dan kitab perawi hadis. Kitab yang berisi ilmu hadis seperti al-Muhaddis
al-Fasil baiyna al-Rawiy wa al-Wa’iy karya al-Ramahurmuzy (w. 360) adalah
kitab pertama ilmu hadis yang terpisah dengan hadis dan disusun secara teratur.
Kitab yang berisi hadis seperti Sahih al-Bukhariy ditulis oleh imam
al-Bukhariy (w. 256 H) yang disusun berdasarkan pembahasan (kitab) dan
di setiap pembahasan terdapat pasal (bab). Sahih al-Bukhariy dimulai dengan pembahasan tentang permulaan
wahyu dan diakhiri dengan pembahasan tentang tauhid. Susunan kitab Sahih berbeda
dengan susunan kitab Sunan secara sistematika maupun metodologinya.
B. Pentingnya Menulis Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah
terjemahan dari kata bahasa Inggris, science,
yang berarti pengetahuan. Kata science
itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, scientia,
yang berarti pengetahuan. Namun pengertian yang umum digunakan, ilmu
pengetahuan adalah himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses
pengkajian dan dapat diterima oleh rasio. Ada yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah gambaran atau
keterangan yang lengkap dan konsisiten tentang fakta-fakta pengalaman manusia
yang disusun dengan metode-metode tertentu, dan mempergunakan istilah-istilah
yang disederhanakan.[11] sedangakan Menulis adalah
sebuah kegiatan menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang
diungkapkan dalam bahasa tulis. Jadi menulis Ilmu Pengetahuan adalah menuangkan
suatu ilmu setelah melalui pengkajian dalam sebuah tulisan.
Kemudian tulisan sangat diperlukan karena
diakhir zaman nanti ilmu akan dicabut yaitu dengan meninggalnya para ulama. Karena dengan tulisan juga salah satu fasilitas untuk mengikat atau mengabadikan ilmu. Seandainya
tulisan itu tidak ada, maka ilmu akan hilang seiringan dengan wafatnya para
ulama. Seperti yang dijelaskan pada hadits di bawah ini:
Artinya: Diriwayatkan dari Amr’ bin Malik RA, dia berkata: Perhatikanlah! Akan aku beritahukan
pada kalian suatu hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW.
yang tidak akan dituturkan pada kalian oleh seseorang sepeninggalku yang pernah ia dengar dari beliau: “Diantara tanda-tanda kiamat adalah
hilangnya ilmu (keislaman),maraknya kebodohan”. Allah tidak mencabut ilmu agama langsung dari
hamba-Nya , tetapi tercabutnya ilmu dengan matinya ulama, sehingga bila tidak
orang alim lalu orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh agama,
jika ditanya agama maka ia menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Selain di dalam hadits anjuran menulis juga terdapat dalam al-Qur’an:
@è%
öq©9 tb%x.
ãóst7ø9$# #Y#yÏB ÏM»yJÎ=s3Ïj9 În1u yÏÿuZs9 ãóst6ø9$# @ö7s% br&
yxÿZs?
àM»yJÎ=x.
În1u öqs9ur $uZ÷¥Å_
¾Ï&Î#÷WÏJÎ/
#YytB
ÇÊÉÒÈ
109. Katakanlah: Sekiranya
lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah
lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami
datangkan tambahan sebanyak itu (pula)".
Ilmu juga perlu diikat dengan kita menulisnya. Kata Imam As-Syafi’I rahimahullah “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya,”[12]
C. Manfaat Menulis Ilmu Pengetahuan[13]
1. Agar dapat Menelusuri Jejak Pendahulu
“Buku adalah pengusung peradaban.Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra menjadi bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.
”(Barbara Tuchman).
Meskipun saat ini teknologi semakin canggih hingga suatu berita atau peristiwa dengan cepat bisa tersaji, seperti Televisi, radio dan alat elektronik lainnya.Tetapi tetap saja sebuah tulisan atau teks menjai kebutuhan, sehingga media cetak misalnya masih laku dibeli oleh banyak orang.karena tulisannya dapat ditelusuri dengan mudah jika sewaktuwaktu dicari atau dibutuhkan untuk dijadikan sebagai kutipan atau bahan referensi. Dan hal itu diantaranya berkat para jurnalis yang rajin menulis dan menyajikan berita/fakta secara tertulis.
2. Agar dapat Mengikat Ilmu
Ali Bin Abi Thalib pernah berujar “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”jelaslah dari kata Syaidina Ali tersebut
bahwa salah satu cara untuk menghimpun ilmu dengan menulis atau mencatatnya. Seperti
pengembala kambing agar tidak kehilangan kambingnya maka harus mengikat kambing
tersebut dengan tambang.
Sa’ad bin Jubair pernah berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibnu Abbas, aku biasa mencatat dilembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian ditangannku. Ayahku sering bertkata: Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tuliskanlah. Bila telah sampai di rumah, tuliskan
lah.Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.”
3. Memanfaatkan Peluang
Era refomarsi memgawa peruaghana terhadapa
perkembgangan media masa (media cetak, media elektronik, dan media online).
Perkembangan ini mampu memberikan ruang gerak bagi penulis dan wartawan. Tumbuh dan berkembangnya media massa tidak hanya memberikan
ruang luas kepada wartawan, tetapi juga menjadi ladang emas bagi penulis lepas
(free lance). Sebuah kerugian besar jika peluang ini tidak dimanfaatkan.(Waitlem: 2007).
4. Menulis Juga Sebagai Obat
Pada tahun 1986 James W. Pennebaker dan reakannya Sandra Beall melakukan
riset tetang hubungan menulis dan kesehatan . dalam riset tersebut disimpulkan
bahwa seseorang yang sering meulis lebih jaranf sakit. Dengan menulis seseorang
akan lebih tenang dan kegelisahan bisa terendam . akibatnya, energi yang
sedianya digunakan untuk merendan kegelesihan bisa terkumpul untuk membangun sisitem kekebalan tubuh.Pennebaker
juga menyimpulkan bahwa menulis rutin tiap hari selama 15-30 menit dengan gaya
narasi, mampu membuat kondisi tubuh dan pikiran menjadi lebih sehat. Dari berbagai
uji coba, terapi ini mampu menyembuhkan dari berbagai jenis penyakit, dari
stress, trauma sampai penyakit yang lebih berat seperti kanker.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menulis adalah sebuah kegiatan
menuangkan pikiran, gagasan, dan perasaan seseorang yang diungkapkan dalam
bahasa tulis. Karena dengan menulis maka kita akan dapat mengikat ilmu
pengetahuan yang kita peroleh. Selain itu menulis juga sarana yang dapat
digunakan untuk menuangkan ilmu pada sebuah catatan yang akan bisa dibaca orang
lain jadi secara tidak langsung dengan menulis ilmu pengetahuan dapat
bermanfaat untuk orang lain. Selain itu
manfaat menulis ilmu pengetahuan antara lain agar
dapat menelusuri jejak pendahulu, dapat menikat ilmu memanfaatkan peluang dan
menulis sebagai obat.
DAFTAR PUSTAKA
Ja’far, Assagaf,
2015.Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw
(Kontekstualisasi Hadis) Cet I. Sukoharjo:
Fataba Press..
Nata, Abuddin
1994.al-Quran dan Hadis (Dirasah
Islamiyah I). cet III. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
http://ahmadsyaichu25.blogspot.co.id/2015/05/menulis-ilmu-pengetahuan.html,
diakses rabu, 23/12/2005, Pukul 11.15.
M.M.Azami, 1994..Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Cet.I.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Saifuddin, 2011.
Arus Tradisi Hadis dan Historiografi
Islam. Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qaththan,
Manna’.2004. Pengantar Studi Ilmu Hadits,Cet.IV,
Jakarta:Pustaka Al-Kautsar.
[1]Ja’far Assagaf, Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) (Sukoharjo: Fataba Press, cet I, 2015),
hlm. 194.
[3]Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,Cet.IV, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2004),
hlm.47.
[4]
Diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi dalam Tayqidull
Ilmi, ditahqiq Yusuf al-Isy hal.33, Dar Ihya’Sunnah Nabawiyah.
[5]
Diriwayatkan ad-Dzarimi dalam Sunannya,
al-Khatib dalam Taqyidul Ilmii, dan
Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa
Fadlihi.
[6]
HR. Bukhari
[7]
Al-Khatib dalam Taqyidul Ilmi hal.74
dan Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil
Lilmi wa Fadlihi 1/85
[8]Ja’far Assagaf, Jejak-jejak Cahaya Nabi Muhammad saw (Kontekstualisasi Hadis) ……,
hlm. 196.
[9]M.M.Azami,
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Cet.I.(Jakarta:Pustaka
Firdaus,1994), hlm.109.
[10]Saifuddin,
Arus Tradisi Hadis dan Historiografi
Islam. Cet.I,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011) hlm,118.
[11]Abuddin Nata, al-Quran dan Hadis (Dirasah Islamiyah I) (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet III, 1994), hlm. 93-94
[12]http://ahmadsyaichu25.blogspot.co.id/2015/05/menulis-ilmu-pengetahuan.html,
diakses rabu, 23/12/2005, Pukul 11.15.
[13]http://ahmadsyaichu25.blogspot.co.id/2015/05/menulis-ilmu-pengetahuan.html,
diakses rabu, 23/12/2005, Pukul 11.15
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusbanyak sekali dikutip dari buku jejak-jejak cahaya Nabi Muhammad saw tp dicantumin hny 3 catatan kaki, padahal kata-kata tersebut juga nukilan langsung
BalasHapus